Jumat, 03 April 2009

Menengok Kegigihan Masyarakat Adat Melawan Proyek Tambang

Sudah lama tidak terdengar perkembangan kasus tambang di desa Kuanoel-Fatumnasi bukan berarti kasus tersebut telah selesai. Situasi masyarakat di dua desa (Kuanoel-Fatumnasi), yang selama ini terus bergolak akibat rencana penambangan marmer Faut Lik dan Fatu Ob, terasa lebih tenang, damai, seperti hari-hari biasa sebelum ada rencananya penambangan di desa mereka.

Beberapa bapak dan mama yang selama ini terlibat cukup aktif melakukan penolakan tambang marmer mulai terlihat sibuk di kebun. Ada yang sedang membalik tanah, bertanam, dan ada beberapa diantara mereka yang sedang sibuk memetik hasil panen. Pada bulan-bulan ini, masyarakat memang sedang melakukan panen, seperti jeruk, kacang tanah, jagung, dan beberapa tanaman lainnya. Beberapa hasil dari panen tersebut ada yang disimpan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sebagian ada yang dijual ke pasar.

Suasana desa yang damai dan tenang seperti saat ini bukanlah satu cermin tidak adanya masalah di dua desa tersebut. Rencana penambangan marmer masih menjadi hantu atau momok bagi masyarakat. Karena, sampai saat ini, konflik antara masyarakat versus Bupati dan pengusaha masih belum selesai. Excavator (yang mulai berkarat) masih bercokol di lokasi tambang walau sudah tidak beroperasi lagi. Namun, dengan sikap Bupati yang masih belum mencabut izin walau ditentang masyarakat, ketenangan masyarakat pasti akan terusik kembali ketika perusahaan mulai bekerja.

Dalam situasi dan kondisi masyarakat yang mulai tenang, empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kupang beserta pengusaha (Neddy Tanaem), Camat Fatumnasi, dan beberapa amaf (tokoh adat), yang selama ini menjual batu, berkunjung ke desa Kuanoel. Beberapa tokoh adat tersebut antara lain Nicanor (Desa Kuanoel), Yusac Oematan (Desa Fatumnasi), dan Yustus Tanoe ( Desa Tunua). Sedang empat anggota DPD yang hadir tidak diketahui nama-namanya oleh masyarakat. Karena, mereka tidak menyebutkan nama maupun mengisi daftar hadir yang telah disediakan.

Kedatangan mendadak (tanpa pemberitahuan sebelumnya) beberapa tokoh tersebut telah mengundang beberapa mama dan bapak dari desa Kuanoel-Fatumnasi, yang kebetulan dekat dengan lokasi tambang, mendatanginya. Kurang lebih 50 orang telah berkumpul di lokasi dalam waktu singkat. Berdasarkan informasi lainnya, rombongan yang hadir kali ini telah bertemu dengan Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) Daniel Banunaek dan beberapa instansi terkait di kantor Kabupaten (Kota Soe) pada pagi hari (Kamis, 25 Mei 2007) sebelum kunjungan.

Kurang lebih pukul 11.28 Wita, rombongan anggota DPD, yang berangkat dengan tujuh mobil yang dikawal oleh pihak Kepolisian TTS dan Satpol PP, tiba di lokasi. Beberapa orang telah berada di lokasi menunggu kedatangan rombongan. Begitu tiba di lokasi, rombongan langsung menuju dan melihat lokasi di sekitar tambang yang telah ditolak oleh masyarakat selama ini.

Berdasarkan informasi dari lapangan, sempat terjadi dialog singkat, antara anggota DPD dan masyarakat, yang disaksikan seluruh anggota rombongan. Salah seorang anggota DPD sempat bertanya kepada masyarakat, “Apakah jika batu ini dijadikan asbak, meja, dan sebagainya bukan oleh perusahaan, melainkan oleh masyarakat sendiri, itu bagaimana?” Masyarakat pun menjawab, “Tetap tidak mau!” Alasan mereka, di daerah ini terdapat tempat untuk ritus (upacara) adat, sekaligus tempat yang telah menghidupi masyarakat di sini. “Jadi, kami tetap menolak tambang,” ungkap masyarakat.

Salah seorang anggota DPD lalu berkata kepada Neddy Tanaem (pengusaha), “Bapak lihat sendiri, masyarakat tetap menolak pertambangan ini.” Tak lama kemudian, rombongan bergegas menuju ke salah satu rumah yang telah dirusak masyarakat akibat bentrok dengan para preman atau pekerja tambang beberapa waktu lalu (Januari 2007). Tiba di rumah tersebut, beberapa warga mendengar ungkapan yang disampaikan Neddy Tanaem. Ia menyatakan, masyarakat di desa ini memang menolak. Lalu, kira-kira pukul 11.52 Wita, seluruh rombongan bergegas menuju desa Tunua untuk melihat kasus yang sama.

Meskipun anggota DPD telah mendengar secara langsung suara masyarakat, bukan berarti perjuangan masyarakat untuk menolak tambang telah selesai. Beberapa informasi menyebutkan bahwa pihak Bupati maupun pengusaha telah mempersiapkan kembali rencana untuk melanjutkan pertambangan. Tidak menutup kemungkinan, kedatangan anggota DPD kali ini dalam rangka memproses persetujuan tersebut. Kita tunggu dan lihat bersama.

Oleh : Wahyu Adiningtyas

Harga Tambang Masuk Masa Penurunan

Harga komoditas tambang sudah mulai memasuki masa penurunan yang diperkirakan akan berlangsung enam bulan ke depan dimana harga komoditas tambang rata-rata telah turun 38% dari posisi tahun lalu.

Pengamat saham tambang dari BNI Securities Norico Gaman mengatakan penurunan harga komoditas terutama logam dan energi seperti nikel, tembaga, timah, perak, karena melemahnya permintaan.

Kenaikan harga logam karena menaiknya industri manufaktur terutama di Asia. Kini China pun mengalami pelemahan pertumbuhan di level 94% dari tahun sebelumnya 10%.

Diperlukan 2-3 tahun harga komoditas kembali ke posisi tertinggi lagi. Penurunan harga komoditas tambang dan logam ini bersamaan dengan melemahnya harga minyak dunia.

Harga minyak mungkin dapat naik lagi karena OPEC berencana memotong produksi pada pertemuan mendatang.

Harga komoditas tambang yang mengalami penurunan di London Metal Exchange per 21 Oktober adalah timah 11.955 dolar AS per ton, tembaga 4.489 dolar AS per ton, nikel 10.425 dolar AS per ton, aluminium 2.043 dolar AS per ton, perak 0.082 dolar AS per ton.

Sumber : International Business Times

Sebelas Investor Tambang Siap Tanam Modal USD 9,7 Miliar

Sektor pertambangan di tanah air agaknya masih menjadi primadona. Buktinya, meski harga komoditas di pasar dunia terus merosot, minat investor di sektor itu tetap tinggi. Sekretaris Ditjen Mineral, Batu bara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM Witoro Soelarno mengatakan, hingga awal tahun ini sudah ada 11 investor yang mengajukan rencana investasi di sektor tambang. ''Total nilai investasinya USD 9,73 miliar,'' ujarnya di Jakarta akhir pekan lalu.

Menurut dia, rencana investasi tersebut terdiri dari beberapa proyek tambang dan fasilitas pengolahan (smelter), mulai nikel, tembaga (copper), alumina, hingga bijih besi (iron ore). ''Namun, yang terbanyak adalah investasi di bidang nikel,'' katanya.

Dia menuturkan rencana investasi terbesar adalah proyek pengembangan tambang nikel di Halmahera dan Papua Barat senilai USD 2,5 miliar. Lalu, disusul proyek tambang nikel di Sulawesi Utara senilai USD 2 miliar. ''Saat ini, proyek di Sulut masih dalam tahap negosiasi,'' terangnya.

Investasi ketiga adalah proyek pengembangan hydrometalurgi nikel di Sulawesi Selatan dengan rencana investasi USD 1,1 miliar. Lalu, proyek pengolahan (smelter) grade alumina di Kalimantan Barat USD 839 juta dan proyek smelter nikel di Sulawesi Tenggara USD 700 juta.

Investasi keenam adalah tambang nikel di Pomala, Sulawesi Tenggara, senilai USD 650 juta. Kemudian, proyek smelter grade alumina di Bintan, Riau, dengan rencana investasi USD 500 juta, dan proyek chemical grade alumina di Tayan, Kalimantan Barat, dengan rencana investasi USD 250 juta.

Investasi kesembilan adalah ekspansi tambang tembaga di Papua Barat dengan rencana investasi USD 100 juta. Kemudian, proyek tambang bijih besi di Bintan, Riau, dengan rencana investasi USD 60 juta. Investasi kesebelas adalah proyek pengolahan tembaga di Bontang, Kalimantan Timur, dengan rencana investasi USD 1,04 juta. (owi/dwi)

Sumber : Jawapos online, 12 Januari 2009

Obyek Wisata Tambang Tradisional

Pemerintah Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung (Babel) saat ini tengah berupaya menjajaki pemanfaatkan lahan tambang tradisional menjadi suatu kawasan yang layak dan menarik untuk dikunjungi para wisatawan mancanegara.

Seperti diungkap Kepala Dinas Pariwisata Bangka, Ahmad Arizal di Bangka, Kamis (26/2) kemarin, Pemkab Bangka akan menyulap lahan tambang tradisional yang berada di pesisir pantai di daerah itu menjadi kawasan pariwisata.

"Kami sekarang sedang mencari pola yang tepat bagaimana memanfaatkan sejumlah lahan tambang rakyat atau tambang tradisional terutama yang berada di pesisir pantai yang memungkinkan untuk menjadi kawasan obyek wisata tambang menarik yang dilengkapi fasilitas pendukung," kata Ahmad Arizal.

Menurut dia, obyek wisata tambang ini memiliki prospek dan diyakini bisa menarik minat para wisatawan terutama wisatawan mancanegara. "Di kawasan obyek wisata tambang itu disediakan fasilitas yang berhubungan dengan tambang tradisional milik masyarakat seperti bahan baku timah, alat-alat untuk menambang dan cara menambangnya," katanya.

Menurut dia, sebagian wisatawan terutama wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bangka selalu bertanya bagaimana proses pengambilan timah rakyat itu karena dalam perjalanan wisata mereka sering melihat warga yang menambang timah.

"Bahkan ada sebagian wisatawan sengaja mencari lokasi tambang rakyat dan mencoba melakukan penambangan karena rasa ingin tahunya sangat tinggi. Atas dasar itu, kami mulai berpikir menciptakan sebuah objek wisata tambang, apalagi Bangka dikenal juga dengan daerah tambang," katanya.

Namun, katanya, pemanfaatan kawasan tambang rakyat itu dalam bentuk obyek wisata, bukan sengaja untuk menambang. "Justru itu, pemerintah daerah mencari kawasan tambang yang bisa dimanfaatkan menjadi obyek wisata, juga memikirkan konsep yang tepat dalam menciptakan dan mengelola obyek wisata tambang itu," katanya.

Sumber : Kompas.com

Pertambangan di Indonesia: Eksploitatif dan Merusak

Sumberdaya mineral merupakan sumber daya alam yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang.

Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh pemerintah Indonesia memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Sayangnya, hal ini dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala yang massif. Sampai saat ini, tidak kurang dari 30% wilayah daratan Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, batubara maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat.

Operasi pertambangan yang dilakukan di Indonesia seringkali menimbulkan berbagai dampak negatif, baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal.

Di seluruh Indonesia, operasi pertambangan menciptakan kehancuran dan pencemaran lingkungan. Ongkos produksi rendah yang dibangga-banggakan perusahaan dalam laporan tahunannya dicapai dengan mengorbankan lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Selain itu, hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut. Hal ini mengakibatkan perusakan dan pencemaran sungai dan laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat.

Sumber : Walhi

Uni Eropa Wacanakan Nikel Barang Berbahaya

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, saat ini sedang gencar mewacanakan nikel sebagai bahan berbahaya bagi manusia. Jika upaya itu goal, diprediksi dapat menurunkan permintaan akan salah satu mineral tambang andalan Indonesia itu, hingga 40%. Indonesia, Australia, dan Kanada akan merupakan tiga negara yang akan menghadang opini itu di WTO (World Trade Organisation).

Langkah Uni Eropa ini terungkap dari dokumen yang ter-up date pihak Direktorat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Ditjen Minerba Pabum) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beberapa staf di Direktorat itu telah diperintahkan untuk mengkaji wacana ‘pengharaman’ nikel tersebut, lewat dokumen yang di-cap “rahasia”.

Lewat dokumen itu terungkap, Uni Eropa berencana mengusulkan lima senyawa nikel karbonat dan 118 bahan yang bersenyawa dengan nikel, sebagai “dangerous substances” (bahan berbahaya). Selanjutnya, barang-barang logam yang terbuat dari nikel atau mengandung unsur nikel, akan diberi label “tengkorak” yang artinya tidak aman bagi kesehatan.

Sumber Majalah TAMBANG di Departemen ESDM mengaku, belum jelas benar akan argumentasi Uni Eropa mewacanakan nikel sebagai bahan berbahaya. Namun beberapa negara yang tergabung di dalamnya, telah membiayai sejumlah penelitian guna membuktikan nikel adalah “dangerous substances”.

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, rencananya dalam waktu dekat akan mengusulkan hal tersebut ke WTO. Jika usulan itu diterima sangat mungkin menurunkan permintaan nikel global hingga 40%. “Seperti Aneka Tambang (Antam) saja, sebagian besar ekspor produk nikelnya kan ke Eropa,” ujar salah seorang staf Ditjen Minerba Pabum, kepada Majalah TAMBANG, Kamis, 2 April 2009.

Dia memprediksi, Uni Eropa melakukan upaya itu sebagai bentuk politik bisnis. Ditengarai Uni Eropa telah menemukan bahan substitusi (pengganti) nikel, yang dapat diperoleh tanpa harus bergantung pada negara-negara tambang. Mereka melakukan itu untuk menjatuhkan pasaran nikel.

Wacana yang digulirkan sejak awal 2009 di kawasan Uni Eropa itu, jelas akan merugikan negara-negara penghasil nikel. Seperti diketahui, tiga negara penghasil nikel dunia adalah Kanada, Australia, dan Indonesia. Jika usulan itu diterima WTO, sangat mungkin negara-negara Uni Eropa menerapkan pre register untuk setiap eksportir nikel yang menjual ke wilayahnya.

Oleh :
Abraham Lagaligo
abraham@majalahtambang.com

Rabu, 01 April 2009

Sulawesi Selatan Provinsi yang memiliki tambang emas terbesar di dunia

Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memiliki tambang emas terbesar di dunia yang hingga saat ini belum dieksplorasi. Padahal potensi ini memberi kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat
Bahkan, kata ahli geologi dunia asal Malaysia, Datu Azis Chemor, pada ekspose “Peluang Tambang Emas Sulsel” di ruang Rapim kantor Gubernur Sulsel, di Makassar, Senin. Dalam peta pertambangan dunia, Sulsel merupakan sentra jalur emas di dunia.

Ekspose potensi tambang emas Sulsel yang menjanjikan kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa mendatang dihadiri Gubernur Syahrul Yasin Limpo, Wagub Agus Arifin Nu’mang, Bupati dan Wakil Bupati daerah tersebut.

Potensi tambang emas Sulsel tersebar di sejumlah kabupaten, yakni Luwu, Luwu Utara, Palopo, Luwu Timur, Tanatoraja, Pangkep, Barru, Bone, Jeneponto, Takalar, Gowa, Maros, Selayar dan Wajo, perlu dijaga dan diawasi supaya dapat diolah menjadi industri yang menjanjikan kehidupan yang layak bagi warga di daerah itu.

Hanya saja, lanjutnya, untuk pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam ini menjadi emas maka harus dibangun industrinya yang investasinya cukup besar, termasuk desain lokasinya, survey lapangan, studi kelayakannya dan lainnya.

Menurut Datu Azis yang didampingi Edward Brennan, ahli pertambangan asal Australia, kandungan emas yang tersimpan di perut bumi sedalam lebih kurang 200 meter banyak ditemukan dalam kawasan hutan lindung di daerah kabupaten tersebut sehingga jika akan dikelola bisa berbenturan dengan instansi yang menangani kehutanan.

“Bank Dunia takut mendanai tambang emas sebab banyak risikonya,” ujarnya seraya menambahkan, sudah banyak investor asing melirik potensi ini untuk diolah menjadi industri emas.

Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo meminta para bupati dan anggota muspida kabupaten/kota menjaga tambang emas yang banyak dijumpai di daerah ini supaya orang-orang tidak masuk ke area kawasan hutan lindung yang banyak menyimpan emas.